Kamis, 14 Juli 2011

BARRINGTONIA ASIATICA = KEBEN = POHON PERDAMAIAN


Tak asing lagi bagi kita yang sering pergi ke pantai untuk dapat menemui sosok pohon ini. Pohon yang kokoh dan rindang. Pernah saat saya masih baru-barunya datang ke pantai Bandealit Taman Nasional Meru Betiri saya sangat penasaran dengan sosok pohon tersebut. Buahnya cukup menggoda saya, seperti siwalan. Karena rasa penasaran yang amat sangat hingga akhirnya saya mencari info tentang pohon keben atau nama latinnya Barringtonia Asiatica. Tak disangka karena kurangnya pengetahuan dari saya, ternyata buah keben itu disebut tentang pohon perdamaian. Kenapa ya kok sampai disebuat pohon perdamaian? Nah, Presiden Soeharto sendiri yang menobatkan tumbuhan itu, 5 Juni 1986 lalu, sebagai pohon perdamaian. Dan bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup sedunia itu, Presiden menanam sebatang pohon perdamaian ini di halaman Istana Negara, Jakarta. Penetapan pohon keben sebagai simbol perdamaian sesuai dengan anjuran Badan Lingkungan Hidup PBB untuk menyerukan perdamaian dunia (sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1986/06/21/LIN/mbm.19860621.LIN35314.id.html). Pertanyaan selanjutnya, kok Keben sih yang dijadikan sebagai pohon perdamaian. Hal tersebut tidak terlepas dari makna “ngrungkebi atau merangkul kebenaran”. Wih, maknanya sangat dalam ya. Menurut saya sendiri yang sering kali berdiam di bawahnya saat di pantai Taman Nasional Meru Betiri memang merasa sangat nyaman. Pohon yang memberikan keteduhan dari teriknya panas, batangnya yang bisa dibuat bersantai dengan kita bertengger, dan yang lebih indah lagi buahnya dapat digunakan sebagai pengobatan mata dengan media herbal (sumber: http://sogolagro.wordpress.com/2011/05/04/keben/#comment-28). Pantas sekali pohon ini menjadi pohon perdamaian.

Hasil jepretan saya di Taman Nasional Meru Betiri tepatnya Pantai Bandealit

Mungkin saja dari rekan-rekan yang sebelumnya belum mengerti tentang pohon keben ini yang semoga tulisan ini dapat menjadi sebuah info yang kecil tapi berarti . Harapan kita semua ialah kita menjadi manusia yang mencintai perdamaian. Tidak kalah dengan sebatang tanaman yang bisa dinobatkan sebagai pohon perdamaian. Peace!!!Salam Lestari

Selasa, 12 Juli 2011

SILUET MENGAMBANG

 Angin sepoi-sepoi menerobos dan membelai rambutku ketika jendela kamar aku buka. Ada sentuhan lembut yang membuat mataku terasa berat untuk tetap terjaga. Aku tak ingin cepat-cepat tidur meskipun nafsu untuk merebahkan diri membumbung tinggi. Apa artinya jika aku tidur, toh besok aku sudah kembali ke Surabaya untuk memulai aktifitasku sebagai seorang mahasiswi. Waktu  sesingkat ini ingin aku  pergunakan sebaik-baiknya untuk mengingat kembali kejadian demi kejadian di kamar mungil ini. Kamarku tidak terlalu besar, tapi sudah cukup layak untuk dijadikan tempat istirahat yang nyaman sekaligus tenang.
            Kupandangi semua isi kamarku. Tetap tidak berubah semenjak aku tinggalkan. Di pojok kiri terlihat sebuah meja belajar yang dibuat oleh ayah waktu aku masih SD. Letak tempat tidur dan hiasan dindingnya tetap di tempatnya, sama sebelum aku meninggalkan kota ini. Memang sejak aku menempuh studi di luar kota, tidak ada yang berani menempati kamarku. Semua tahu bahwa kamarku juga tempat spesial buatku.
Mataku tertuju pada sebuah benda. Kecil tapi sangat luas dan bebas untuk  menuangkan segala sesuatu yang mengganjal di hatiku. Ya, diari kecil itu. Warnanya hijau tosca sesuai dengan warna favoritku. Kubuka lembar demi lembar halaman yang penuh dengan coretan tanganku. Kata-kata yang menyusun tulisan itu aku baca satu-persatu. Mengingatkanku pada masa-masa SMA-ku. Sampai pada lembar yang membuat ingatanku kembali terbuai.
***
Siang itu matahari memancarkan sinarnya dengan terik. Ujian sekolah diadakan pukul 10.00 WIB. Melangkahkan kaki untuk berangkat sekolah memang sangat berat. Apalagi pelajaran yang akan diujikan adalah  matematika. Huhh…!!rasanya aku ingin tidur saja daripada sekolah. Jarak sekolah ke SMA ku  memang dekat dari rumah. Hanya 10 menit perjalanan untuk sampai ke sekolah. Tapi, terasa lebih panjang karena panas terik yang membakar kulit sawo matangku.
            “Rin, kamu sudah belajar kan?”
 “Sudah dong!! .” Jawabku mantap menjawab pertanyaan yang dilontarkan Anggun.
            Anggun menyerobot pertanyaan sebelum aku bernafas dengan bebas setelah cukup lelah berjalan. Anggun adalah satu-satunya sahabatku yang paling baik.
            “Nanti aku duduk dimana ya Nggun? Kata teman-teman bangkunya di rolling lagi ya?”tanyaku pada Anggun.
            “Coba aja kamu lihat di papan pengumuman. Disana ada kok.”
            “Aku masuk kelas dulu ya Rin. Kurang 5 menit sudah bel nih.”
            Percakapan singkatku dengan Anggun berakhir. Anggun berlalu masuk ruang 23, karena aku kurang awal ya otomatis aku harus cari ruangan dulu. Aku melihat papan pengumuman dan ternyata aku ruang 24.
Teng…teng…teng!!!!!!
            Pukul 10.15 ujian dimulai. Aku mulai mengerjakan soal-soal metematika yang cukup sulit. Tanpa sengaja aku menoleh ke sebelah bangkuku. Aku berfikir siapa yang menempati bangku sebelahku ini. Ujian sudah dimulai tapi dia tidak datang.
            “Maaf, pak saya terlambat.”
            Suara dari ujung pintu itu memecah konsentrasiku mengerjakan soal. Pandanganku tertuju pada sosok itu. Badannya tinggi tegap dan wajahnya berkarakter. Tapi, kelihatnnya dia pendiam. Wajahnya selalu tertunduk. Aneh!
            “Masukklah. Ujian sudah berjalan 10 menit. Ambil soal ini lalu cepat duduk!” Perintah bapak penjaga itu dengan ketus.
             Langkah kakinya menuju ke arah bangku sebelahku. Tanpa senyum dia langsung saja duduk.      
“Kasihan!” pikirku.
 Soal matematika membuat aku pusing. Sejenak aku memandang wajahnya. Dingin!! Wajahnya yang menunduk mengerjakan soal terlihat tanpa ekspresi. Tidak tahu apakah soalnya sulit atau mungkin terlalu mudah untuk dia. Mataku mulai melihat identitas di lembar ujiannya  AFANDI. Nama yang cukup singkat. Tertulis juga dia kelas 2 IPA 4. Wow! kelas unggulan. Berarti dia salah satu murid pintar di sekolahku.
***
            Jam menunjukkan pukul 11.30 WIB. Bel tanda ujian berakhir telah berbunyi lima menit yang lalu. Aku dan Anggun masih duduk santai di depan kelas sambil membahas soal ujian tadi. Seseorang berjalan di depan kami sambil menundukkan kepalanya. Sosok yang sama seperti yang duduk di sebelahku saat ujian tadi. Sesaat aku tertegun. Sikapnya sedingin es. Tapi, aku bisa menangkap gurat kesedihan di mata itu.
            “Rina, memangnya kamu kenal sama  dia? Kok, cara memandangmu aneh begitu.?”
            Pertanyaan  Anggun membuat aku sedikit kaget. Ternyata Anggun sedari tadi mengamatiku saat aku melihat dia.
Spontan aku langsung menjawab pertanyaan Anggun.
“Kenal?? Tidak aku tidak mengenalnya, tapi tadi waktu ujian aku satu bangku dengan dia. Namanya Afandi dan dia anak kelas 2 IPA 4. Dia anaknya aneh. Sepertinya dia menyimpan banyak masalah. Terlihat dari cara dia bersikap seolah tidak membutuhkan teman. Dia juga kelihatan tidak mau bergaul sama teman-temannya.”
             “Kira-kira kenapa ya? kasihan juga ya Rin. Seandainya kita kenal pasti kita akan bantu dia. Ya kan?”
            “Mungkin.” Jawabku singkat
            Anggun mengangguk tanda setuju denganku. Panas matahari sudah mulai terik menyengat. Kami berdua melangkahkan kaki untuk pulang ke rumah masing-masing. Belajar untuk ujian besok.
***
            Esok harinya aku berangkat pagi jam 06.30 karena jadwal ujianku dimulai pagi. Cukup menyenangkan karena aku bisa menikmati hawa pagi yang sejuk, ditemani kabut dan lukisan alam. dari kejauhan aku dapat menatap Pegunungan Argopuro. Aku melangkahkan kakiku keluar dari gang rumahku. Tiba-tiba ada yang menabrak aku.
Bruuk!!
            Kami berdua  terjatuh. Orang itu langsung meminta maaf dan membantuku untuk berdiri.
            “Maaf, aku tidak sengaja. Kamu tidak terluka kan?”Tanya orang itu. Dia terlihat sangat merasa bersalah.
            Sekilas aku melihat sosok yang tak asing bagiku. Ternyata dia adalah kakak kelasku Afandi. Sosok yang menurut aku aneh itu.
            “Oh…aku…aku tidak terluka. Terima kasih.” Jawabku agak gugup.
            Dia tersenyum kepadaku. Senyumnya sangat manis. Sepertinya dia telah tahu kalau aku adik kelasnya. Kami berdua pun berangkat bersama ke sekolah.  Selama perjalanan ke sekolah kami berdua tidak mengucap sepatah katapun. Aku pun berbasa basi bertanya untuk mencairkan suasana.
            “Rumah kakak di daerah sini juga?” tanyaku.
Sebenarnya aku merasa pesimis dia mau menjawab pertanyaanku.
“Ya, Rumahku di Gang 12.” Jawabnya singkat namun terlihat ramah sekali.
Kali ini aku merasa bersalah karena memiliki pikiran jelek tentang dia. Ternyata sikapnya tidak seperti yang aku bayangkan. Meskipun dia lebih banyak diam.
***
            Pertemuan dengan Kak Afandi membuat aku terkesan dengannya. Sikapnya yang pendiam membuat aku semakin penasaran. Begitu banyak yang ingin aku ketahui tentang dia. Sering sekali aku melihatnya meski dari jauh. Aku sering mengendap-endap di depan kelasnya hanya untuk dapat melihat sosoknya.
            Aku tak tahu perasaan apa yang sebenarnya menyerang hatiku. Ada perasaan yang tak bisa aku ungkapkan bila melihat dia. Senyuman indah itu, sorot mata yang dingin. Semuanya terasa berharga sekali. Hatiku pun selalu berdegup kencang saat melihat dia.
            Hingga suatu saat aku berangkat ke sekolah bersama. Kami berdua tidak sengaja berpapasan di gang itu. Tempat pertama kali dia memberikan senyum indah itu padaku. Aku merasakan hal yang luar biasa saat dia mulai mengajak aku berbicara.
            “Boleh aku bertanya?”
Pertanyaan itu membuat aku terkejut.
            “Bertanya apa?” jawabku sedikit gugup.
            “Apa kamu punya orang yang paling kamu sayangi?”
Pertanyaan itu membuat aku sedikit kaget. Pertanyaan yang aneh. tapi, aku berusaha untuk menjawabnya.
“Orang yang aku sayangi adalah ibu, ibu, ibu, dan ayah.” Jawabku dengan penuh keyakinan.
“Bagaimana jika orang yang kamu sayangi disakiti?”
Pertanyaan yang sekali lagi terasa aneh.
“Jelas aku akan membuat perhitungan dengan orang yang berusaha menyakiti orang yang aku sayangi.” Sekali lagi aku menjawab dengan mantap.
Setelah dia mengajukan pertanyaan itu kami berdua terdiam membisu sampai tiba di sekolah.
***
To be continue...
            .